Assalamu Alaikum wr.wb.
Salam
hangat untuk saudara-saudari sekalian. Semoga sapa saya kali ini
menjumpai Anda dalam hati yang damai dan tegar menjalani perjalanan
hidup hari ini yang pasang surut.
Judul
"menyoal remisi bagi koruptor dan teroris" adalah tulisan yang akan
menjadi bagian dalam proses pembelajaranku dalam hal pengamatan,
pemahaman dan penulisan hasil analisis saya sendiri dalam acara Jakarta
Lawyers Club (JLC) di TV ONE edisi Selasa 20 September 2011 kemarin,
dengan tema "Layakkah Remisi Bagi Koruptor dan Teroris?".
Aturan
mengenai pemberian remisi terhadap terpidana memang sudah
dikodifikasikan dalam suatu aturan perundang-undangan. Dan aturan
tersebut berlaku bagi siapapun yang berstatus terpidana dan menjalani
hukumannya. Arti dari kata "siapapun" tentu kita semua sudah paham jelas
makna dari kata tersebut yang menjelaskan bahwa seluruh orang, siapa
saja dia, apapun profesi dan latar belakangnya tentu berhak atas
pemberian remisi. Namun belakangan marak diperbincangkan dan
dipermasalahkan oleh publik khususnya mereka yang berkecimpung di dunia
hukum dengan berbagai latar belakang profesi mengenai pemberian remisi
bagi koruptor dan teroris. Beberapa kalangan menyayangkan sikap
Menkumham yang memberi remisi kepada koruptor di tengah gencarnya upaya
pembarantasan korupsi yang dilakukan oleh penegak hukum dalam hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK).
Menjadi
pertanyaan besar bagi publik ketika Menkumham memberikan pernyataan
tentang remisi tersebut. Ada apa sebenarnya dibalik pemberian remisi
bagi koruptor? Bukankah hal itu hanya melemahkan penegakan hukum dan
menghilangkan efek jera bagi mereka (koruptor)?
Jawabnya,
tidak ada apapun dibalik pemberian remisi. "Menkumham mengatakan, tugas
saya sebagai menteri adalah dalam hal penegakan hukum di Indonesia, dan
masalah remisi itu saya hanya menjalankan apa yang telah diamanatkan
oleh undang-undang. Di mana telah diamanatkan undang-undang bahwa
siapapun yang menjadi terpidana berhak atas pemberian remisi setiap
tahunnya jika berkelakuan baik selama dalam penjara. Jadi, sangat jelas
apa yang diamanatkan undang-undang. Bukan keinginan saya. Saya hanya
berusaha untuk konsisten menegakkan hukum berdasarkan aturan
perundang-undangan yang berlaku." kata pak Menteri.
Perbincangan
di JLC tentang remisi bagi koruptor menjadi hangat dan menarik ketika
budayawan Sudjiwo Tewo mendapat giliran berbicara dan mengemukakan
pendapatnya yang intinya bahwa dia tidak setuju dengan adanya remisi
bagi koruptor dan teroris karena tindak pidana ini dinilai sangat
merugikan rakyat sehingga tidak ada ampun bagi mereka. Sudjiwo Tewo juga
mengkritik menkumham terkait pernyataan pak menteri tentang konsistensi
aturan perundang-undangan. "Kalau memang demikian, kenapa masih banyak
pengangguran? Bukankah dalam aturan undang-undang mengatakan setiap
orang berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Tapi kenapa
pengiriman TKI ke luar negeri semakin pesat? Di mana lapangan pekerjaan
yang dimaksud?
Belum lagi aturan
mengenai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh pemerintah untuk kesejahteraan rakyat. Buktinya mana? Coba
lihat freeport di Papua sana, 90% dikuasai pihak asing. Di mana
pemerintah?" tanya mbah tedjo.
Pro
kontra mengenai layak atau tidak koruptor dan teroris mendapat remisi
membuat saya menarik kesimpulan atas diskusi JLC bahwa menurut saya,
pernyataan pak menteri tentang remisi bagi koruptor dan teroris sudah
benar berdasarkan aturan perundang-undangan. Semua sudah sesuai dengan
aturan tentang persamaan hak setiap orang di hadapan hukum. Karena jika
remisi dihilangkan tanpa merubah peraturan perundang-undangan yang
dimaksud tentu menimbulkan masalah baru, yakni terjadinya pelanggaran
hak asasi manusia sesuai yang tertuang dalam UUD 1945 (Amandemen) dalam
pasal 27 ayat 1 yang berbunyi, segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah wajib menjunjung hukum dengan
tidak ada kecualinya. Kalimat terakhir "tidak ada kecualinya" memberi
penjelasan bahwa siapapun dia berhak mendapat perlakuan yang sama di
hadapan hukum. Jadi, sangat jelas sebenarnya maksud dari aturan
tersebut. Persoalan terpidananya adalah koruptor atau bukan, selama dia
berkelakuan baik dalam penjara maka berhak mendapatkan remisi. Begitu
mulianya aturan tersebut yang menghargai perlakuan baik seseorang.
Apakah
hanya karena satu peraturan saja yang tidak ingin diberlakukan bagi
orang tertentu (remisi bagi koruptor) sehingga harus mengorbankan aturan
lainnya tentang hak asasi manusia?
Sebenarnya,
sikap pak menteri yang konsisten dalam menjalankan amanat undang-undang
ini patut di apresiasi. Hanya yang disayangkan adalah persoalan
momennya saja yang kurang tepat. Di mana pada saat bersamaan bangsa ini
sedang dirundung segelumit permasalahan di bidang hukum terkait tindak
pidana korupsi yang mana pernyataan Menkumham tersebut bermaksud menerapkan hukum dan keadilan dengan
memberikan remisi bagi koruptor. Tentu hal ini menjadi kontroversial di
tengah gencarnya pemberantasan korupsi oleh para penegak hukum.
Namun,
di sisi lain saya sepaham dengan pendapat dari mbah Sudjiwo Tewo
tentang komitmen pemerintah dalam hal penerapan/penegakan hukum yang
konsisten. Jika memang ingin konsisten untuk tetap menerapkan aturan
hukum dengan memberi remisi bagi koruptor dan teroris, pemerintah
seharusnya konsisten juga dengan penerapan aturan hukum lainnya.
Misalnya aturan yang termaktub dalam UUD 1945 bahwa fakir miskin dan
anak terlantar dipelihara oleh negara. Faktanya masih banyak anak-anak
bangsa di luar sana yang hidupnya terkatung-katung. Selain itu masalah
pendidikan, tidak sedikit juga anak-anak miskin di luar sana yang tidak
mendapat kesempatan menikmati pendidikan hanya karena persoalan biaya.
Padahal undang-undang telah menjamin bahwa setiap warga negara wajib
mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Pertanyaannya, gimana mau wajib ikut pendidikan kalau aturan sekolah
mengharuskan mereka (anak-anak miskin) untuk membayar biaya sekolah?
Sementara dalam aturan pemerintah sendiri yang memiliki kewajiban untuk
membiayainya adalah pemerintah. Di mana pemerintah?
Belum
lagi persoalan pengangguran. Undang-undang mengatur bahwa tiap-tiap
warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan. Berhak sih berhak, tapi lapangan pekerjaannya mana? Apakah
kewajiban untuk membuka lapangan pekerjaan dibebankan kepada negara
tetangga? Lalu di mana peran pemerintah? Kenapa jumlah TKI yang ke luar
negeri selalu meningkat? Seiring meningkatnya pula pengiriman TKI dari
negara tetangga yang sudah teraniaya oleh majikannya. Apakah itu
tergolong penghidupan yang layak?
Kesimpulannya,
sesuai dengan aturan perundang-undangan tentang pemasyarakatan bahwa remisi (pemotongan masa tahanan) memang adalah hak dari setiap warga
binaan di lembaga pemasyarakatan, siapapun dia. Kalau mau remisi dihilangkan, ubah UU-nya. Sebaliknya,
jika ingin remisi tetap ada, terapkan juga aturan-aturan lainnya yang
mendasar agar tercipta keadilan di tengah masyarakat. Dan yang lebih krusial dari itu adalah vonis hukuman di sidang pengadilan terhadap terpidana korupsi dan tindak pidana yangg tergolong extra ordinary crime, harus lebih berat dari tuntutan jaksa. Hanya saja pemerintah terkadang lalai dalam konsistensinya untuk menerapkan aturan tersebut secara menyeluruh. Pemerintah terkesan memberi "remisi" (pemotongan) lain terhadap penerapan aturan hukum lainnya. Jadi, jangan hanya fokus
pada satu permasalahan saja lalu masalah lain yang mendasar dikesampingkan.
hmm,,, saya mah kurang mengerti di bidang hukum seperti ini. tapi sebagai masyarakat awam denger para koruptor mendapat remisi emang sedikit disayangkan. Time nya gak tepat gitu lohh,,,
BalasHapustakutnya ntar kalo kebanyakan para koruptor dapet remisi, terus bebas, malah ngulangin kesalahannya yg lama a.k.a korupsi. kalo udah 2 kali kyk gitu, udahhh,,, stop remisi2an bwt tuh koruptor. biar kapok. biar gak beranggapan bahwa hukum bisa dipermainkan dengan bersikap baik2 di dalam penjara, berharap dapet remisi lagi, terus korupsi lagi..
pikiran saya aja loh sebagai masyarakat awam. hehehe...
sebenarnya, mereka yg berkompeten di bidang hukum dlm hal ini penegak hukum tidak perlu trlalu jauh mempersoalkan mngenai substansi suatu aturan. lebih kepada prosedurnya sajalah.
BalasHapusadax perlakuan istimewa di bilik penjara mrpkn salah satu sebab koruptor tdk jera dgn perbuatannya.
sebut sj arthalyta terpidana kasus suap jaksa urip yg memiliki sebuah apartemen mewah di bilik penjarax dgn segala fasilitas. bgmn dgn koruptor lain yg levelx lbh tinggi?
kita sama-sama belajar ya... :)