Rabu, 21 September 2011

menyoal remisi bagi koruptor dan teroris

Assalamu Alaikum wr.wb.

Salam hangat untuk saudara-saudari sekalian. Semoga sapa saya kali ini menjumpai Anda dalam hati yang damai dan tegar menjalani perjalanan hidup hari ini yang pasang surut.


Judul "menyoal remisi bagi koruptor dan teroris" adalah tulisan yang akan menjadi bagian dalam proses pembelajaranku dalam hal pengamatan, pemahaman dan penulisan hasil analisis saya sendiri dalam acara Jakarta Lawyers Club (JLC) di TV ONE edisi Selasa 20 September 2011 kemarin, dengan tema "Layakkah Remisi Bagi Koruptor dan Teroris?".

Aturan mengenai pemberian remisi terhadap terpidana memang sudah dikodifikasikan dalam suatu aturan perundang-undangan. Dan aturan tersebut berlaku bagi siapapun yang berstatus terpidana dan menjalani hukumannya. Arti dari kata "siapapun" tentu kita semua sudah paham jelas makna dari kata tersebut yang menjelaskan bahwa seluruh orang, siapa saja dia, apapun profesi dan latar belakangnya tentu berhak atas pemberian remisi. Namun belakangan marak diperbincangkan dan dipermasalahkan oleh publik khususnya mereka yang berkecimpung di dunia hukum dengan berbagai latar belakang profesi mengenai pemberian remisi bagi koruptor dan teroris. Beberapa kalangan menyayangkan sikap Menkumham yang memberi remisi kepada koruptor di tengah gencarnya upaya pembarantasan korupsi yang dilakukan oleh penegak hukum dalam hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Menjadi pertanyaan besar bagi publik ketika Menkumham memberikan pernyataan tentang remisi tersebut. Ada apa sebenarnya dibalik pemberian remisi bagi koruptor? Bukankah hal itu hanya melemahkan penegakan hukum dan menghilangkan efek jera bagi mereka (koruptor)?
Jawabnya, tidak ada apapun dibalik pemberian remisi. "Menkumham mengatakan, tugas saya sebagai menteri adalah dalam hal penegakan hukum di Indonesia, dan masalah remisi itu saya hanya menjalankan apa yang telah diamanatkan oleh undang-undang. Di mana telah diamanatkan undang-undang bahwa siapapun yang menjadi terpidana berhak atas pemberian remisi setiap tahunnya jika berkelakuan baik selama dalam penjara. Jadi, sangat jelas apa yang diamanatkan undang-undang. Bukan keinginan saya. Saya hanya berusaha untuk konsisten menegakkan hukum berdasarkan  aturan perundang-undangan yang berlaku." kata pak Menteri.

Perbincangan di JLC tentang remisi bagi koruptor menjadi hangat dan menarik ketika budayawan Sudjiwo Tewo mendapat giliran berbicara dan mengemukakan pendapatnya yang intinya bahwa dia tidak setuju dengan adanya remisi bagi koruptor dan teroris karena tindak pidana ini dinilai sangat merugikan rakyat sehingga tidak ada ampun bagi mereka. Sudjiwo Tewo juga mengkritik menkumham terkait pernyataan pak menteri tentang konsistensi aturan perundang-undangan. "Kalau memang demikian, kenapa masih banyak pengangguran? Bukankah dalam aturan undang-undang mengatakan setiap orang berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Tapi kenapa pengiriman TKI ke luar negeri semakin pesat? Di mana lapangan pekerjaan yang dimaksud?
Belum lagi aturan mengenai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh pemerintah untuk kesejahteraan rakyat. Buktinya mana? Coba lihat freeport di Papua sana, 90% dikuasai pihak asing. Di mana pemerintah?" tanya mbah tedjo.

Pro kontra mengenai layak atau tidak koruptor dan teroris mendapat remisi membuat saya menarik kesimpulan atas diskusi JLC bahwa menurut saya, pernyataan pak menteri tentang remisi bagi koruptor dan teroris sudah benar berdasarkan aturan perundang-undangan. Semua sudah sesuai dengan aturan tentang persamaan hak setiap orang di hadapan hukum. Karena jika remisi dihilangkan tanpa merubah peraturan perundang-undangan yang dimaksud tentu menimbulkan masalah baru, yakni terjadinya pelanggaran hak asasi manusia sesuai yang tertuang dalam UUD 1945 (Amandemen) dalam pasal 27 ayat 1 yang berbunyi, segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah wajib menjunjung hukum dengan tidak ada kecualinya. Kalimat terakhir "tidak ada kecualinya" memberi penjelasan bahwa siapapun dia berhak mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum. Jadi, sangat jelas sebenarnya maksud dari aturan tersebut. Persoalan terpidananya adalah koruptor atau bukan, selama dia berkelakuan baik dalam penjara maka berhak mendapatkan remisi. Begitu mulianya aturan tersebut yang menghargai perlakuan baik seseorang.
Apakah hanya karena satu peraturan saja yang tidak ingin diberlakukan bagi orang tertentu (remisi bagi koruptor) sehingga harus mengorbankan aturan lainnya tentang hak asasi manusia?

Sebenarnya, sikap pak menteri yang konsisten dalam menjalankan amanat undang-undang ini patut di apresiasi. Hanya yang disayangkan adalah persoalan momennya saja yang kurang tepat. Di mana pada saat bersamaan bangsa ini sedang dirundung segelumit permasalahan di bidang hukum terkait tindak pidana korupsi yang mana pernyataan Menkumham tersebut bermaksud menerapkan hukum dan keadilan dengan memberikan remisi bagi koruptor. Tentu hal ini menjadi kontroversial di tengah gencarnya pemberantasan korupsi oleh para penegak hukum.

Namun, di sisi lain saya sepaham dengan pendapat dari mbah Sudjiwo Tewo tentang komitmen pemerintah dalam hal penerapan/penegakan hukum yang konsisten. Jika memang ingin konsisten untuk tetap menerapkan aturan hukum dengan memberi remisi bagi koruptor dan teroris, pemerintah seharusnya konsisten juga dengan penerapan aturan hukum lainnya. Misalnya aturan yang termaktub dalam UUD 1945 bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Faktanya masih banyak anak-anak bangsa di luar sana yang hidupnya terkatung-katung. Selain itu masalah pendidikan, tidak sedikit juga anak-anak miskin di luar sana yang tidak mendapat kesempatan menikmati pendidikan hanya karena persoalan biaya. Padahal undang-undang telah menjamin bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Pertanyaannya, gimana mau wajib ikut pendidikan kalau aturan sekolah mengharuskan mereka (anak-anak miskin) untuk membayar biaya sekolah? Sementara dalam aturan pemerintah sendiri yang memiliki kewajiban untuk membiayainya adalah pemerintah. Di mana pemerintah?

Belum lagi persoalan pengangguran. Undang-undang mengatur bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Berhak sih berhak, tapi lapangan pekerjaannya mana? Apakah kewajiban untuk membuka lapangan pekerjaan dibebankan kepada negara tetangga? Lalu di mana peran pemerintah? Kenapa jumlah TKI yang ke luar negeri selalu meningkat? Seiring meningkatnya pula pengiriman TKI dari negara tetangga yang sudah teraniaya oleh majikannya. Apakah itu tergolong penghidupan yang layak?

Kesimpulannya, sesuai dengan aturan perundang-undangan tentang pemasyarakatan bahwa remisi (pemotongan masa tahanan) memang adalah hak dari setiap warga binaan di lembaga pemasyarakatan, siapapun dia. Kalau mau remisi dihilangkan, ubah UU-nya. Sebaliknya, jika ingin remisi tetap ada, terapkan juga aturan-aturan lainnya yang mendasar agar tercipta keadilan di tengah masyarakat. Dan yang lebih krusial dari itu adalah vonis hukuman di sidang pengadilan terhadap terpidana korupsi dan tindak pidana yangg tergolong extra ordinary crime, harus lebih berat dari tuntutan jaksa. Hanya saja pemerintah terkadang lalai dalam konsistensinya untuk menerapkan aturan tersebut secara menyeluruh. Pemerintah terkesan memberi "remisi" (pemotongan) lain terhadap penerapan aturan hukum lainnya. Jadi, jangan hanya fokus pada satu permasalahan saja lalu masalah lain yang mendasar dikesampingkan.

2 komentar:

  1. hmm,,, saya mah kurang mengerti di bidang hukum seperti ini. tapi sebagai masyarakat awam denger para koruptor mendapat remisi emang sedikit disayangkan. Time nya gak tepat gitu lohh,,,
    takutnya ntar kalo kebanyakan para koruptor dapet remisi, terus bebas, malah ngulangin kesalahannya yg lama a.k.a korupsi. kalo udah 2 kali kyk gitu, udahhh,,, stop remisi2an bwt tuh koruptor. biar kapok. biar gak beranggapan bahwa hukum bisa dipermainkan dengan bersikap baik2 di dalam penjara, berharap dapet remisi lagi, terus korupsi lagi..
    pikiran saya aja loh sebagai masyarakat awam. hehehe...

    BalasHapus
  2. sebenarnya, mereka yg berkompeten di bidang hukum dlm hal ini penegak hukum tidak perlu trlalu jauh mempersoalkan mngenai substansi suatu aturan. lebih kepada prosedurnya sajalah.
    adax perlakuan istimewa di bilik penjara mrpkn salah satu sebab koruptor tdk jera dgn perbuatannya.
    sebut sj arthalyta terpidana kasus suap jaksa urip yg memiliki sebuah apartemen mewah di bilik penjarax dgn segala fasilitas. bgmn dgn koruptor lain yg levelx lbh tinggi?

    kita sama-sama belajar ya... :)

    BalasHapus