Sabtu, 08 Oktober 2011

hilangnya satu nafas hidupku

in memories...


Kehilangan sosok seorang Ayah dalam kehidupanku bagaikan hilangnya satu nafas kehidupan yang selama ini menjadi penyemangat hidupku. Bersama Ibu, beliau telah mendidik kami dengan penuh kesabaran dan kasih sayang sejak kecil hingga kami (anak-anaknya) memasuki usia dewasa. Sungguh suatu pemberian yang sangat bernilai dalam kehidupan kami yang tidak akan pernah bisa terbalas kebaikan mereka meski dengan nyawa sekalipun. Begitu banyak ilmu dan nilai-nilai kehidupan yang beliau ajarkan kepada kami (anak-anaknya). Mulai dari pemahaman tentang agama, adat dan segala hal yang sangat kami butuhkan dalam kehidupan ini.

Masih segar dalam ingatan saat terakhir beliau bersama kami. Pagi itu di RSU Ajapange Soppeng, Etta (begitu kami memanggilnya) menjalani masa kritisnya bersama Ibu dan kakak kedua saya. Sementara saya dan kakak yang pertama sedang dalam perjalanan dari Makassar menuju Soppeng. Hampir setiap 15 menit selama kami dalam perjalanan, kami selalu meminta dan menerima informasi dari Ibu dan saudara yang sedang bersama Etta di RS tentang kondisi terkini Etta. Sama sekali tidak ada firasat bahwa pada hari itu beliau akan pergi untuk selama-lamanya. Dan entah kenapa saat mengemudiakan motor, saya melaju dengan kecepatan tinggi yang beda dari biasanya dan tiba di Soppeng kurang lebih satu jam lebih cepat. Sebenarnya, ini adalah pertanda bahwa tidak lama lagi Etta akan pergi meninggalkan kami yang sama sekali tidak kami sadari. Pukul 09.10 wita (kurang lebih) kami tiba di RS (UGD). Dalam ruangan itu, saya menemui Etta sedang terbaring lemah dengan nafas yang tersengal-sengal. Tatapan matanya yang sayu, seolah ingin menyampaikan sebuah pesan sebelum kepergiannya untuk selama-lamanya. Badannya yang kurus kering seolah berkata kepada kami anak-anaknya bahwa kalian semua sudah dewasa dan harus berusaha sendiri untuk mandiri menjalani kehidupan masing-masing. Sesekali batuk menyiksa pernapasannya bagai sebuah pemberitahuan bahwa hidupnya tak lama lagi.  Kamipun bergantian memeluknya sambil membantu beliau untuk melafadzkan ayat-ayat suci Al-Qur'an dan bersyahadat saat nafasnya tersengal-sengal. Hanya kurang lebih lima belas menit saja kebersamaan kami di ruang UGD (Unit Gawat Darurat), serangan jantung membuat Etta pergi selama-lamanya meninggalkan kami. Tangispun pecah dan tak terbendung lagi di ruangan itu. Tapi, terlepas dari semua itu, saya merasa bersyukur sekali dapat menatap mata Etta yang sayu sesaat sebelum beliau meninggal, mengingat perjalanan yang kami tempuh hampir tidak memungkinkan lagi untuk sampai di RS saat Etta masih hidup. Alhamdulillah ALLAH berkehendak untuk mempertemukan kami sekeluarga di saat-saat terakhir kehidupan Etta.

Sakit stroke yang ia derita sejak awal bulan Mei 2010 lalu mengharuskannya menjalani masa pensiunnya sebagai pendidik (guru) dengan penuh penderitaan. Namun dengan kesabaran, beliau bisa menjalani hari-harinya dengan kelumpuhan pada tubuhnya di bagian kiri hingga ajal menjemputnya. Satu kesyukuran bagi saya karena bisa berada di tengah-tengah kedua orang tua saat kondisi mereka sudah lanjut usia. Beberapa foto dan rekaman saat beliau masih hidup khususnya saat Etta sakit, kini menjadi teman dikala kerinduan melanda kami. Dengan foto dan video tersebut, kami merasa sangat dekat sekali dengan beliau. Menemani dan merawat Etta selama masa sakitnya adalah saat penuh suka dan duka yang kini selalu dikenang oleh kami sekeluarga tatkala rasa rindu kepada Etta datang menghampiri.

Kini setahun sudah kepergian beliau dari keluarga kecil kami, Jum'at 08 Oktober 2010 - Sabtu 08 Oktober 2011. Terkadang rasa tidak percaya bahwa Etta telah meninggal hadir di pikiranku sehingga membuatku berpikir bahwa jangan-jangan kita semua salah, Etta mungkin masih hidup saat dikubur. Tapi kemudian saya sadar bahwa pemikiran ini hadir hanya karena didasari proses pembelajaran tentang keikhlasan menerima kenyataan yang belumlah sempurna. Ya ALLAH.., kami ikhlas atas kepergian Etta dan senantiasa teriring do'a dari kami (keluarga kecilnya) untuk keselamatan beliau di alam kubur sana dalam penantiannya menanti hari akhir tiba. Semoga diberi ketenangan, cahaya terang dan dilapangkan kuburnya, diberi keselamatan di jembatan shirotal mustaqim, serta semoga Surga Firdaus-Nya adalah tempatnya kelak..., Amiin Allahumma Amiin. Meski sudah setahun, kami sekeluarga masih dan akan selalu menganggap beliau hidup. Baik di dalam hati kami maupun di tengah-tengah kami dalam setiap momen kehidupan. Kehilangan sosok seorang Ayah yang sabar, dan menjadi panutan bagi keluarga bagaikan kehilangan satu nafas kehidupan dalam hidupku. 

ETTA...,
Saya merindukan nasehat  dan pandangan hidup Etta. Saya merindukan suara, canda dan tawa dari Etta. Saya merindukan untuk berkebun di tanah milik kita Etta. Saya merindukan untuk dibangunkan menunaikan shalat subuh. Saya merindukan untuk jalan-jalan pagi, shalat, makan, dan tidur bersama Etta. Saya rindu untuk mengantar Etta ke sekolah mengajar murid-murid Etta. Saya rindu melihat Etta menjalani setiap hari bersama Ibu.

Saya merindukanmu ETTA. Istirahatlah dengan tenang, kami selalu rindu dan selalu berdo'a untuk keselamatan Etta.


Selamat Jalan Etta...

Sabtu, 01 Oktober 2011

cintaku di karate

Malam minggu sendiri kelabu. Pendapat itu sepertinya tidak berlaku dengan saya yang saat kesendirian menjadi temanku membuat perasaan ini begitu menyenangkan dengan hadirnya pemikiran untuk menorehkan sebuah catatan dalam blog ini tentang pengalaman cinta beberapa tahun dan hari lalu.

Jum'at 30 september, saya kembali dengan aktifitas yang tertunda selama dua bulan lamanya sejak ramadhan kemarin. Aktifitas olahraga yang sudah menjadi hobby sejak SMP kemarin (beberapa tahun silam). KARATE. Itulah yang menjadi kegemaranku yang terbangun sejak duduk dibangku SMP kemarin. Hingga saat ini saya masih sangat mencintai olahraga ini. Di saat beberapa teman lainnya yang dulu juga pernah menjadi teman dalam olahraga ini lebih sibuk dengan rutinitas yang baru dan lebih menyenangkan (menurut versi mereka). Entah kenapa dengan olahraga ini. Padahal menurut beberapa orang yang pernah ikut, olahraga ini membosankan. Gerakannya itu melulu..., tidak ada variasi. Kami bosan! (seperti itulah pendapat dari teman-teman kebanyakan).



Pendapat tentang "gerakannya itu melulu" sengaja saya garis bawahi karena memang benar demikian. Namun, perlu diketahui juga teman-teman bahwa selain waktu yang tidak mungkin berulang, segala sesuatu tentu akan dilakukan berulang-ulang. Untuk memahami dan menguasai, tentu harus dilakukan berulang-ulang biar lebih mengerti. Dan semua olahraga tentu seperti itu. Coba saja Anda pelajari semua jenis olahraga, tentu gerakannya itu-itu saja, dan memang seperti itulah realitanya. Jadi, dapat saya simpulkan bahwa pendapat teman-teman yang merasa jenuh dengan Karate adalah pendapat yang keliru dan tidak berdasar sama sekali. Semata-mata karena jenuh, sehingga teman-teman memutuskan berhenti alias kegemaran Anda bukan di karate melainkan dalam bidang olahraga yang lain mungkin.

Di situlah letak perbedaan kita teman-teman. Kecintaan dengan sebuah rutinitas/kegiatan membuat kita tetap bertahan di tengah kejenuhan orang lain yang bisa saja mempengaruhi fokus kita. Cinta (hobby) itulah yang saya jadikan prinsip sehingga mengantarkan saya dalam kecintaan yang sama, bahkan lebih terhadap olahraga karate sejauh ini. Karena cinta itu sendiri mengantar saya pada tujuan utama saya saat masih sangat baru di olahraga ini yakni meraih sabuk hitam dan menjadi seorang pelatih yang bisa dijadikan contoh.

Kecintaan itu tentu berdasar. Layaknya mencintai seseorang (lawan jenis) tentu ada sesuatu yang menarik sehingga kita merasa suka dengannya. Begitupun dengan Karate, banyak hal yang bisa saya dapatkan dengan olahraga ini. Selain dari tujuan utamanya sebagai ilmu untuk beladiri, keuntungan yang saya maksud itu mulai dari kesehatan jasmani yang akan mengantar pada kekuatan jiwa, seperti kata pepatah "men sana in corpore sano" (di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat). Ya...kurang lebih seperti itulah yang saya rasakan. Keuntungan lainnya, yakni kemampuan untuk belajar menjadi seorang pemimpin seperti yang saya alami beberapa tahun terakhir. Yaa.., sebagai pelatih (Simpay) saya merasakan sekali bagaimana melawan rasa tidak percaya diri menghadapi orang banyak sekaligus menjadi contoh. Dan Alhamdulillah, saya bisa. Selain itu, dalam hal pergaulan. Karate membuat saya mengenal banyak teman yang sebelumnya kami tidak pernah dipertemukan dalam dunia pendidikan formal atau dalam kegiatan lainnya. Beberapa teman dan pribadi saya kenal di karate, mulai dari mereka yang benar-benar suka dengan olahraga ini hingga mereka yang hanya sekedar ikut-ikutan dengan temannya yang entah akan berlanjut atau tidak nantinya.

Dengan menjadi seorang pelatih, saya belajar menjadi seorang pemimpin meski dalam skala yang masih terbilang kecil. Banyak hal yang saya pelajari dengan menjadi seorang pelatih. Salah satunya adalah dalam hal kedisiplinan. Dalam hal apapun, seorang pelatih tentu harus bisa menjadi contoh bagi yang dilatihnya. Apa yang diinginkan untuk dimiliki oleh seorang murid tentu harus dimiliki dulu oleh pelatih. Jika menginginkan muridnya disiplin, pelatih tentu harus lebih disiplin lagi. Dan seterusnya. Intinya, segala hal yang ada dalam diri pelatih (Simpay) sebisa mungkin harus ditampilkan yang terbaik untuk murid-muridnya agar ia bisa menjadi teladan. 

Sekedar informasi bahwa mereka yang menjadi murid karate saya umumnya berasal dari siswa SMA. Dan sebagai seorang pelatih saya sudah seringkali dihadapkan dengan berbagai karakter murid yang berbeda-beda. Mulai dari mereka yang selalu bercanda saat latihan hingga mereka yang serius pada saat latihan tapi tidak mengerti sama sekali. Saya tidak menyalahkan mereka, karena menjadi tugas seorang pelatih untuk selalu mencari cara baru dalam hal menyampaikan materi kepada muridnya. Namun, selama beberapa tahun terakhir berstatus sebagai pelatih yang membuat saya bingung dan terkadang sedikit mengganggu pikiran jika terus mengingatnya yakni tentang pendapat seorang teman pelatih bahwa "jangan sampai terlibat cinta lokasi dengan anak murid sendiri". Karena menurutnya, jika terjadi hal demikian tentu akan mengganggu konsentrasi saat melatih yang beresiko terjadinya diskriminasi dengan murid-murid lainnya. Maksudnya begini, jika tadinya cara melatih kita tegas, perlahan tapi pasti akan melemah. Misalnya ketika si murid yang menjadi pacar kita melakukan pelanggaran dalam latihan, tentu tidak tega rasanya menghukumnya sehingga hilanglah konsentrasi untuk bersikap tegas yang berakibat pada sifat pilih kasih terhadap murid-muridnya.

Benar kata teman. Namun, menjadi sebuah dilema yang saya rasakan sekarang karena saat ini juga saya mulai jatuh cinta dengan seorang murid saya sendiri. Ini bukan kali pertama sih sebenarnya. Dulu (tahun 2007), saya juga berada dalam kondisi yang sama. Saat itu kami memang pacaran karena 'dia' sudah tidak begitu aktif dengan karate,  jadi saya merasa tidak ada beban saat melatih. Meski tidak berlangsung lama, tapi saya pernah. Berbeda dengan yang sekarang, murid yang menjadi dambaan hati masih aktif latihan dan terkesan sangat serius mengikuti latihan karate saat saya melatih. Hmmm.....

Perasaan itu semakin meningkat ketika Jum'at 30 September kemarin saya melihatnya sangat cantik dengan balutan jilbabnya dan sebuah senyuman yang dilayangkan dari mulut manisnya sepulang dari latihan. Hingga berlanjut dengan komunikasi yang saya mulai melalui pesan singkat malam itu, dan juga pada saat saya menulis catatan ini kami saling komunikasi dengan lancar dan semangatnya, se-semangat saya menulis catatan panjang ini. Hehee... ^_^

Sosoknya yang sederhana, lembut dan terkesan pendiam membuat saya tertarik untuk mengenalnya lebih dekat. Dan satu hal yang menguatkan perasaanku (ketertarikan saya) yakni karena wajahnya mirip dengan seorang gadis yang juga pernah menjadi pasangan terbaikku. Perkenalan kami menjadi akrab ketika saya memberanikan diri untuk meminta nomor HP-nya dalam sebuah kesempatan yang tentunya dengan sejuta alasan. Padahal seharusnya murid-lah yang meminta nomor HP pelatihnya untuk kelancaran latihan. Eh.., ini malah terbalik. Hihihi....(jadi malu sendiri). Syukur Alhamdulillah, diapun merespon baik cara saya mendekatinya dengan balas memberi perhatian kepada saya...., hmmm...bak gayung bersambut (istilah orang seperti itu) ada harapanlah dari dia.

Akan seperti apa hubungan kami selanjutnya, mungkinkah jika saya mencoba menyatakan perasaan yang sebenarnya dia akan merespon/menyambut baik dengan perasaan yang sama? Saya semakin tidak sabar menanti hari latihan selanjutnya. Semoga sesuai yang diharapkan. Semoga cintaku di karate (hobbyku) semakin meningkat serta semoga cintaku di karate (dambaan hatiku) adalah 'dia' yang selama ini selalu terpikirkan. Amin