Kamis, 22 Desember 2011

Sebuah Harapan di Hari Ibu


Hari Ibu yang diperingati setiap tahunnya pada 22 Desember merupakan momentum untuk mengingat dan meneguhkan kontribusi gerakan kaum perempuan dalam menyiapkan Indonesia sebagai negara bangsa yang bebas dari kolonialisme, berdaulat, adil dan makmur. Namun tak kalah pentingnya, peringatan Hari Ibu ini bukan hanya sekedar seremonial, tetapi sebagai momen dalam rangka membebaskan perempuan dari berbagai bentuk kekerasan.
Hari Ibu atau Mom Day bukan semata-mata memperingati jasa Ibu yang memang memiliki peran penting dalam kehidupan domestik kita bersama. Untuk konteks sekarang ini, menurut saya adalah bagaimana memberikan penghargaan terhadap kaum Ibu dengan membebaskan ia dari berbagai bentuk kekerasan, baik kekerasan fisik, psikis, ekonomi dan seksual.
Kasus yang kini marak dan peristiwanya terus berulang adalah perkosaan dalam angkutan kota. Hal ini semestinya menjadi perhatian penting pemerintah, terutama pemenuhan keadilan dan pemulihan bagi perempuan korban dan memberi sangsi hukum yang setimpal bagi para pelakunya.
Jika kekerasan terhadap perempuan masih sangat menguat di sekitar kita, maka pemberdayaan terhadap perempuan akan sangat sulit dilakukan. Sebab prasyarat perempuan untuk berdaya adalah membebaskannya dari kekerasan dalam bentuk apapun.
Hal ini harusnya menjadi perhatian kita bersama khususnya pemerintah yang mempunyai kompetensi/kewenangan dalam hal perlindungan hukum yang pasti bagi kaum perempuan. Butuh kerjasama yang erat dansaling mendukung antara pemerintah, masyarakat pada umumnya dan perempuan itu sendiri. Perempuan itu sendiri diharapkan bisa menjadi pemeran utama dalam hal pemberdayaan kaummnya, sedangkan pemerintah dan masyarakat umum adalah pemeran pembantu namun penting. Kenapa saya mengatakan demikian, tidak lain karena saya melihat kondisi kekinian di mana umumnya perempuan itu sendirilah yang terkadang berperilaku kurang baik dalam kesehariannya yang dia sendiri tidak menyadarinya. Misalnya dengan berpenampilan dan berpakaian yang super mewah dan minim di tempat umum, sehingga tanpa disadari secara tidak langsung hal itulah yang mengundang terjadinya tindak kriminal bagi kaum perempuan. Di samping para pelaku atau calon pelaku yang juga memang terkadang  pikirannya bejat alias kriminil.
Olehnya itu, kemauan dan konsistensi semua pihak sangat dibutuhkan untuk menjawab berbagai tantangan kedepan dan mewujudkan ekspektasi semua masyarakat berkaitan dengan pemberdayaan perempuan demi keberlangsungan hidup mereka yang sejahtera agar kelak kaum perempuan kita bisa menjadi seorang Ibu yang mandiri bagi penerus bangsa yang siap meneruskan tongkat estafet atau cita-cita negeri tercinta. Dan sangat berkenan kiranya jika kita memberi gelar kepahlawanan bagi seorang Ibu yang telah berjuang sekuat tenaga melahirkan (putra-putri bangsa).
Selamatkan Ibu, selamatkan perempuan, selamatkan bangsa, selamat hari Ibu.

Catatan Kecil di Hari Ibu

Tanpa ada maksud mengurangi atau mengabaikan rasa kasih sayang yang juga diberikan oleh Etta (Ayah), saya sengaja menulis catatan kecil ini di hari Ibu untuk mengabadikan sejuta cinta kasih dari seorang Ibu kepada kami (anak-anaknya). Meski sebenarnya sudah terukir indah dalam hati dan pikiran ini tentang kasih Ibu, namun belum puas dan tak lengkap rasanya jika saya belum memuatnya dalam sebuah catatan. Juga sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada Ibunda tercinta yang selama ini menjadi sumber kehidupan bagi kami sekeluarga.

Sangat banyak kata yang dapat mendeskripsikan sosok seorang Ibu,. Akan tetapi, mengingat saya bukanlah seorang sastrawan yang mampu menciptakan kata-kata yang indah dan menarik. Juga saya ini bukanlah ahli puisi yang dengan mudah bisa menghasilkan sebuah puisi untuk seorang Ibu. Namun cukuplah bagi saya mengartikan sosok Ibu sebagai orang yang berhati lembut penuh perhatian. Ia adalah pejuang yang tangguh dalam keluarga. Ibu, adalah pemimpin, teladan, dan guru bagi kami yang melebihi arti sebenarnya  dari profesi seorang guru. Bagiku, Ibu adalah segalanya dalam hidup ini. Ia adalah malaikat yang diutus oleh Tuhan. She’s Everything.
Sebuah pepatah bugis mengatakan: Iyaro To Matoammu, Puang Alla Ta’ala Mallinomu..., jaji sompa madecengngi pajajiammu. Artinya, Kedua Orang Tuamu adalah wujud dari Tuhanmu di Dunia, jadi hormati dan perlakukan mereka sebaik mungkin.

Rasulullah SAW sendiri telah menempatkan derajat Ibu 3 kali lebih tinggi dari Ayah. Beliau berkata, orang yang harus dihormati adalah Ibumu, Ibumu, Ibumu, lalu Ayahmu. Bagi saya pribadi, Allah SWT telah mengutus Rasul sebagai teladan bagi Ummat Islam, sementara Ibu adalah perwakilan-Nya yang juga bisa dikatakan sebagai wujud nyata Allah SWT dalam hal kasih sayang-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Hal ini jelas senada dengan pepatah bugis tadi.
Selain itu, begitu pentingnya kehadiran Ibu dan manfaat yang diberikan oleh seorang Ibu terhadap anaknya, sehingga ada sebuah bait sajak yang mengatakan ‘aku tak butuh Tuhan, aku tak butuh guru, namun yang kubutuhkan hanya seorang  Ibu’.
Artinya, begitu mulia dan berharganya nilai kasih sayang dari seorang Ibu, sehingga posisinya tak tertandingi oleh siapapun. Karena, tanpa Ibu kita bukan siapa-siapa. Jadi wajar saja jika seorang ibu diibaratkan sebagai sumber kehidupan.

Meskipun masih banyak Ibu yang menelantarkan anaknya, namun  menurut saya sosok Ibu itu tidak akan tergantikan. Tak ada yang bisa menandingi keluhuran hatinya. Ketika ada seorang Ibu yang berani menelantarkan anaknya, itu bukan merupakan ekspresi dari hatinya. Namun bisa saja karena ada bisikan dari luar.
Dan yang perlu diingat, hati seorang Ibu seperti halusnya sutra, begitulah halusnya belaian kasih sayang seorang Ibu. Meski sepanjang kehidupannya senantiasa disertai dengan berbagai penderitaan khususnya saat membesarkan buah hati tercinta, hati ibu senantiasa lembut sepanjang masa. Dan hal itu tidak menurunkan kualitas kasih sayang seorang IBU.

Sangat pantas jika saya menyatakan bahwa hingga detik ini dan sampai kapanpun, kasih seorang Ibu belum ada yang terbalas dan tidak akan pernah ada seorang anak yang mampu membalasnya. Melainkan yang bisa kita lakukan sebagai anak yakni dengan membahagiakan Ibu kita. Itulah perwujudan rasa cinta seorang anak kepada Ibunya. Bukan membalas.

Saya teringat pesan dari seorang ulama saat masih kuliah dulu, ia mengatakan bahwa kehancuran suatu keluarga/bangsa itu sangat ditentukan oleh kondisi dan perilaku kaum perempuannya, jika perempuannya baik, maka baik pula keluarga/bangsa itu, tapi jika perempuannya ‘rusak’, maka rusak pula keluarga/bangsa itu. Pesan penting bagi kaum perempuan berkenaan dengan momen hari Ibu, hendaklah menjadi sosok peneduh dunia, dan sumber inspirasi di setiap langkah seorang anak. Karena memang sosok Ibu ini merupakan tempat berteduh di dunia, dan juga jadilah seorang Ibu yang menjadi sumber kehidupan orang banyak, bukan hanya dalam keluarga saja.
Terima Kasih Ibu..., Terima Kasih Ibu..., Terima Kasih Ibu..., Terima Kasih Ayah.
Selamat Hari Ibu

Rabu, 07 Desember 2011

Cintailah Mereka

Kadang manusia akan mengalami dan melaluinya, dan kadang manusia tak menerima dan merelakannya. Suatu saat kita, bisa mendapat cobaan itu. Coba berpikir dalam bila mendapat cobaan itu.
Olehnya itu, cintailah cinta mereka, sayangilah sayang mereka..., sebagai tanda ketulusan yg diinginkan mereka. Tertawalah lepas dengannya, bernyanyilah indah dengannya.
Kita sama, semua sama, yang tercantik dan sempurna. Dan yang terbaik.


Ada yang bilang, ketika mendengar atau menyaksikan secara langsung suatu peristiwa/kejadian atau apapun itu (positif) lalu kita merasa merinding, itu artinya bahwa kita bisa turut merasakan apa yang kita saksikan atau dengarkan itu. Begitulah yang kini tengah saya rasakan ketika mendengar dan menyaksikan video klip dari Band GIGI - Cintailah Mereka yang bertajuk tentang kepedulian terhadap mereka (anak yatim) yang hingga saat ini masih banyak sekali yang belum tersantuni. Sangat dalam makna dari lagu ini, sehingga berulang kali tangan ini menekan tombol play untuk memainkan kembali lagu ini. Mungkin bukan hanya saya yang merasa tersentuh dengan lirik lagu dari GIGI tersebut, melainkan Anda (sahabat-sahabat) yang juga memiliki hati nurani yang tulus untuk peduli dan memberi sebuah perhatian dengan saudara-saudari kita di luar sana yang mungkin kondisinya tidak sebahagia kita yang memiliki keluarga (orang tua) yang utuh. Yah, anak yatim piatu, itulah mereka. 

Hidup bersama-sama dalam satu tempat/asrama, melakukan aktifitas sehari-hari bersama teman-teman sesama anak yatim piatu lainnya, merupakan kebiasaan mereka. Jauh dari kasih sayang orang tua kandung, jauh dari lingkungan keluarga yang sangat membahagiakan seperti yang kita rasakan. Semua itu adalah cobaan yang harus mereka tanggung. Melihat keadaan mereka yang kehilangan orang tua, akan sulit rasanya bagi saya untuk menjalani seperti yang mereka rasakan. Tapi meringankan beban mereka dengan sebuah kepedulian tentu suatu perbuatan yang mulia.


Tidak banyak yang diharapkan oleh mereka, kecuali perhatian yang tidak mereka miliki seperti yang kita miliki. Apapun itu, sekecil apapun perhatian yang diberikan, akan sangat bermanfaat dan membahagiakan  mereka.

Seperti yang dikutip MediaIndonesia.com (06/12/2011), selasa kemarin merupakan Hari Anak Yatim Nasional yang bertepatan dengan 10 Muharram 1433 H. Puluhan anak-anak melakukan aksi memperingati Hari Anak Yatim Nasional di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Selasa (6/12/2011). Dalam aksinya, mereka meminta kepada pemerintah untuk menetapkan 10 Muharrom sebagai Hari Anak Yatim secara formal, yang setidaknya telah mengurangi beban kewajiban pemerintah yang diamantkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 yang berbunyi fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.

Dari berita tersebut, dapat kita ketahui bahwa sebenarnya mereka tidak meminta banyak dari pemerintah kecuali sebuah perhatian. Melalui penetapan 10 Muharrom sebagai Hari Anak Yatim Nasional, mereka mencoba mengingatkan pemerintah tentang janji yang mereka buat dalam sebuah UUD 1945. Dengan begitu, diharapkan pemerintah lebih meningkatkan concern terhadap mereka (anak yatim).

Memang ironi dan menyedihkan ketika melihat realita yang terjadi saat ini. Masih banyak sekali anak yatim di luar sana yang belum atau bahkan tidak pernah tersantuni. Tidak salah jika ada anggapan bahwa "anak terlantar itu dipelihara oleh negara, makanya hampir setiap sudut kota selalu kita temukan anak terlantar usia sekolah yang bertarung menjalani kehidupan mereka di persimpangan jalan dengan bekerja". Hal yang seharusnya tidak perlu terjadi jika pemerintah lebih memperhatikan perhatian mereka terhadap anak-anak terlantar tersebut. Itu baru yang terjadi di kota besar yang sangat sering kita lihat sehari-hari dan sangat mungkin untuk disantuni, tapi bagaimana dengan mereka yang keberadaannya (di pelosok negeri) jauh dari keadaan yang memungkinkan untuk mendapat santunan?

Ketimbang menunggu perhatian dari pemerintah yang entah kapan dan entah kenapa tidak fokus, sangat baik dan wajib bagi kita (khususnya saya) untuk segera turut serta dengan sebuah tindakan  real dalam memberi sebuah perhatian bagi mereka. Banyak cara yang bisa kita lakukan dan tentu sahabat semua tahu. Kembali lagi ke persoalan hati nurani. Tumbuhkan kepedulian kita kepada mereka. Karena kita semua sama.

Saatnya mengakhiri perhatian yang tertuang dalam catatan dari seseorang yang prihatin dengan kondisi saudara-saudari kita yang menjalani kehidupan mereka sebagai yatim piatu. Memulai dengan tindakan akan lebih baik. Semoga Anda yang membaca note ini juga merasakan hal yang sama dan tergerak hati dan fisiknya untuk peduli. Saya yakin itu!