Selasa, 27 September 2011

kenapa orang miskin tetap misikin?


   Jika kita dilahirkan dalam keadaan miskin, sudah dapat dipastikan kita berasal dari orang tua yang miskin, tinggal di perkampungan kumuh, bertetangga dengan orang miskin, dan kebanyakan saudara kita miskin. Karena miskin, kita tidak punya kesempatan sekolah. Kalaupun sekolah hanya SD atau paling banter SMP. Dengan pendidikan yang rendah, apa yang bisa kita lakukan? Akhirnya kita bekerja serabutan, apa adanya, asal bisa makan. Keterampilan yang apa adanya ditambah dengan keadaan yang terpaksa, akhirnya membuat kita mau saja menerima bayaran sesuai kerelaan atau belas kasihan mereka yang butuh jasa kita.
Begitu banyak orang yang seperti itu, bekerja tidak setiap hari. Dengan uang yang pas-pasan, makan sangat "diatur"; artinya pagi makan, siang belum tentu, atau sebaliknya lebih banyak puasa atau makan seadanya. Asupan makanan jauh dari bergizi karena sekadar mengisi perut. Akibatnya mereka kurang gizi, lemah, dan sakit-sakitan. Kalau sakit tidak punya uang, akhirnya banyak pula yang mati muda tanpa pernah menikmati senangnya kehidupan.


Ada puluhan juta orang miskin di negeri kita yang tercinta ini. Saudara kita yang kebetulan tidak mendapat kesempatan dan mendapatkan ujian dengan menjadi orang susah. Allah memang menciptakan manusia, ada yang kaya untuk membantu yang miskin, dan ada yang miskin agar orang kaya bersyukur serta tergerak hatinya untuk membantu.
Kemiskinan menjadi terstruktur jika suatu negara membiarkan korupsi merajalela. Uang negara yang diperuntukan bagi rakyat miskin agar mereka sejahtera malah dimakan oleh pejabat untuk menyejahterakan dirinya sendiri. Banyak anggaran dipersiapkan untuk membantu orang miskin yang berbentuk cash Bantuan Langsung Tunai (BLT). Ini cukup membantu jika langsung diterima oleh si miskin "tanpa potongan". Pembagian beras miskin lewat lurah juga sangat membantu jika tidak dijual ke pihak yang tidak berhak dengan harga yang lebih tinggi demi mendapat keuntungan. Rakyat yang terkena bencana atau tinggal di daerah terpencil akan sangat terbantu jika dibangun akses jalan dan fasilitas penunjang. Ini dimaksudkan agar masyarakat mampu mandiri dan menjual hasli buminya. Sayangnya mutu jalan dan infrastruktur dikorupsi sehingga sering sekali jalan baru dibangun sudah rusak.
Kenapa ada manusia yang tega memakan manusia lainnya? Mereka memenuhi perut sendiri dan perut anak istrinya dengan uang haram? Mereka membuat diri mereka kaya, tapi membuat orang lain semakin miskin. Banyak contoh di mana pejabat yang meninjau daerah bencana malah merepotkan. Apalagi jika ia adalah orang penting dari pusat. Anggaran malah habis untuk mempersiapakan kedatangannya. Aparat lokal dipersiapkan untuk menyambutnya dan berebut cari muka. Pejabatnya pun mungkin akan marah jika yang menyambut kedatangannya hanya sedikit.
Belum lagi makanan yang akan dimakan si pejabat haruslah istimewa dan banyak. Apalagi kalau si pejabat membawa rombongan ajudan , istri, dan keluarganya. Kok menengok bencana malahan menjadi merepotkan? Bukankah sebaiknya berikan saja doa restu dan audit pengunaan anggaran untuk menuntaskan kemiskinan dan menanggulangi bencana dengan baik?
Untuk mendapatkan BLT, Raskin (Beras Miskin), Jamkesmin (Jaminan Kesehatan Miskin), semuanya harus dicap miskin. Ada pengantar dari kelurahan untuk menyatakan bahwa kita miskin. Kalau perlu diberi seragam atau cap yang membedakan kasta kita adalah kasta miskin proletar yang berhak dapat bantuan. Di kelurahan sendiri juga rawan korupsi. Banyak kartu miskin malah diberikan kepada mereka yang tidak miskin. Apakah mereka ini sudah sedemikian rusak mentalnya dan tidak punya harga diri sehingga tidak malu mengaku miskin agar dapat bantuan dari pemerintah?
 
Kalau untuk mendapatkan BLT sontak pejabat desa, kecamatan, dan kabupaten berlomba-lomba mendata sebanyak mungkin warganya yang miskin. Bahkan, banyak data yang fiktif, ada data tapi orangnya sudah meninggal. Tapi, jika untuk laporan kemajuan desa, data yang dikeluarkan lain lagi. Pokoknya yang menggambarkan bagimana hebatnya aparat birokrat mengelola daerahnya. Dengan data dan laporan yang bagus, akan keluar lagi kucuran dana untuk program lainnya. Rakyat masih dijadikan alat untuk kepentingan para birokrat, belum diperlakukan dengan benar untuk mengangkat derajatnya agar mereka sejahtera.
Kalau rakyat masih mau dijadikan komoditas politik kepentingan para penguasa, dan mau dijadikan objek kemiskinan, mereka akan berkubang dalam lumpur kemiskinan. Cara berpikirnya adalah miskin, meminta-minta, dan mengggantungkan hidupnya pada orang lain. Jika birokrat masih menjadikan rakyat hanya sebagai alat untuk mendapatkan tambahan anggaran yang peruntukannya tidak sesuai dengan alokasi anggaran, akan terciptalah mental penguasa yang bobrok. Merekalah yang sebenarnya miskin. Ya.., miskin kasih sayang, miskin moral, dan miskin belas kasihan kepada`rakyat yang seharusnya mereka lindungi.
Kita harus memerangi keadaan seperti ini agar jangan sampai orang miskin tetap miskin. Orang miskin hanya dianggap sebagai angka; yang semakin besar jumlahnya semakin banyak bantuan yang diberikan. Sudah saatnya kita semua memperjuangkan suatu negara yang makmur, merdeka, sejahtera, di mana rakyatnya mempunyai harga diri dan semangat untuk mandiri. Masyarakat yang malu untuk meminta-minta dan berjuang untuk hidup secara bermartabat.
Sedih rasanya dalam bulan puasa kemarin misalnya, kita melihat bagaimana rakyat miskin yang memang biasa tidak makan malahan tidak puasa. Mereka di bulan suci tersebut malah berjejer di jalan, lengkap dengan anak-istri, bahkan membawa bayi sambil menadahkan tangannya merengek untuk meminta belas kasih para pengguna jalan. Manusia gerobak semakin hari semakin banyak saja berjejer di pinggir-pinggir jalan besar. Rasanya mustahil jika tidak ada yang mengorganisir. Begitu banyak gerobak itu mungkin ada juragan gerobak yang mengambil keuntungan dengan menyewakannya.
Seorang miskin mungkin menjadi putus asa dan tidak percaya lagi kepada Allah. Mereka mencari kasih sayang Allah sepanjang hidupnya, namun belum menemukannya dalam bentuk kesejahteraan. Rawan sekali jika kita membiarkan saudara kita tersebut semakin banyak saja yang bertambah miskin. Mereka nantinya bukan saja miskin harta, tapi juga miskin iman. Bisa tidak percaya lagi kepada kasih sayang Allah.
Bahkan, dikhawatirkandemi mengejar kebutuhan perut—mereka akan terperosok ke dalam perbuatan yang tidak bermartabat, seperti minta-minta dan bahkan berbuat kriminal. Seperti banyak yang terjadi di jalan-jalan protokol di Makassar. Bayangkan jika begitu banyak saudara kita yang miskin, ini juga akan membahayakan kita yang dianggap mampu tapi tidak mau membantu. Kemungkinan ada kecemburuan sosial dan kalau ada kejadian yang tidak diinginkan mereka akan gelap mata.
Jadi, jangan berbahagia apalagi tidak peduli terhadap orang miskin. Kita semua (tak terkecuali saya) yang hidupnya sudah berkecukupan harus membantu mereka. Seberapapun bantuan kita, akan sangat bernilai bagi mereka. 
Ada puluhan juta orang miskin di negeri kita yang tercinta ini. Saudara kita yang kebetulan tidak mendapat kesempatan dan mendapatkan ujian dengan menjadi orang susah. Allah memang menciptakan manusia, ada yang kaya untuk membantu yang miskin, dan ada yang miskin agar orang kaya bersyukur serta tergerak hatinya untuk membantu. 

- Semoga Bermanfaat

Sabtu, 24 September 2011

Beda Harga

Hi sobat, gw punya cerita nih...(untuk dijadikan film sih)
trus gw jg lg nyari2 pemerannya nih (cowok)..ada yg berminat gag??
tp sebelumnya dibaca dulu ya naskah-nya.., cuma satu episode kok. gag sampai Beda Harga 6, seperti Teransjung 6 hihihi....^^


Hendra Production
Mempersembahkan

Roma dan Rani sejoli mahasiswa yang tinggal di sebuah pondokan mahasiswa.

Suatu hari keduanya ke mal untuk melepaskan penat.
Setelah lama berkeliling di mal, keduanya hendak pulang ke tempat kosnya.
Dalam perjalanan pulang di bawah terik matahari, keduanya diserang rasa haus.
Mereka pun mencari warung kaki lima untuk menghilangkan dahaganya.
Mereka mencari warung kaki lima karena isi dompetnya sudah menipis.
Setiba di sebuah warung, mereka memperhatikan daftar menu dan harganya.
Keduanya senang minum teh (yaa...namax juga sejoli)
Dalam daftar menu minuman, tertulis harga :

Teh Dingin : Rp 2.000,-
Teh Panas  : Rp 1.000,-

Karena uangnya tinggal Rp 1.000, Roma memesan teh panas yang harganya Rp 1.000,- untuk diminum bersama. Sesaat setelah teh pesanannya di antar ke mejanya, Roma pun langsung meminumnya dalam keadaan panas, sambil menahan rasa sakit di tenggorokannya.
Melihat tingkah Roma itu, sang pacar Rani kaget luar biasa. Ia pun bertanya,
“Roma, kenapa kamu langsung habisi teh itu dalam keadaan masih panas?”
“Lihat itu (sambil menunjuk daftar menu), kalau tehnya sudah dingin harganya jadi Rp 2.000”, jawab Roma."


cerita ini hanya fiktif belaka. bila ada kesamaan nama, pemeran dan kisah dalam cerita ini (aduh kasian amat) hehee.... engga’lah. jangan percaya tapi boleh ketawa jika memang lucu. jangan ditiru tapi kalau kepepet bolehlah.
heheheee......


gimana, tertarik gag jadi pemerannya???

Rabu, 21 September 2011

menyoal remisi bagi koruptor dan teroris

Assalamu Alaikum wr.wb.

Salam hangat untuk saudara-saudari sekalian. Semoga sapa saya kali ini menjumpai Anda dalam hati yang damai dan tegar menjalani perjalanan hidup hari ini yang pasang surut.


Judul "menyoal remisi bagi koruptor dan teroris" adalah tulisan yang akan menjadi bagian dalam proses pembelajaranku dalam hal pengamatan, pemahaman dan penulisan hasil analisis saya sendiri dalam acara Jakarta Lawyers Club (JLC) di TV ONE edisi Selasa 20 September 2011 kemarin, dengan tema "Layakkah Remisi Bagi Koruptor dan Teroris?".

Aturan mengenai pemberian remisi terhadap terpidana memang sudah dikodifikasikan dalam suatu aturan perundang-undangan. Dan aturan tersebut berlaku bagi siapapun yang berstatus terpidana dan menjalani hukumannya. Arti dari kata "siapapun" tentu kita semua sudah paham jelas makna dari kata tersebut yang menjelaskan bahwa seluruh orang, siapa saja dia, apapun profesi dan latar belakangnya tentu berhak atas pemberian remisi. Namun belakangan marak diperbincangkan dan dipermasalahkan oleh publik khususnya mereka yang berkecimpung di dunia hukum dengan berbagai latar belakang profesi mengenai pemberian remisi bagi koruptor dan teroris. Beberapa kalangan menyayangkan sikap Menkumham yang memberi remisi kepada koruptor di tengah gencarnya upaya pembarantasan korupsi yang dilakukan oleh penegak hukum dalam hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Menjadi pertanyaan besar bagi publik ketika Menkumham memberikan pernyataan tentang remisi tersebut. Ada apa sebenarnya dibalik pemberian remisi bagi koruptor? Bukankah hal itu hanya melemahkan penegakan hukum dan menghilangkan efek jera bagi mereka (koruptor)?
Jawabnya, tidak ada apapun dibalik pemberian remisi. "Menkumham mengatakan, tugas saya sebagai menteri adalah dalam hal penegakan hukum di Indonesia, dan masalah remisi itu saya hanya menjalankan apa yang telah diamanatkan oleh undang-undang. Di mana telah diamanatkan undang-undang bahwa siapapun yang menjadi terpidana berhak atas pemberian remisi setiap tahunnya jika berkelakuan baik selama dalam penjara. Jadi, sangat jelas apa yang diamanatkan undang-undang. Bukan keinginan saya. Saya hanya berusaha untuk konsisten menegakkan hukum berdasarkan  aturan perundang-undangan yang berlaku." kata pak Menteri.

Perbincangan di JLC tentang remisi bagi koruptor menjadi hangat dan menarik ketika budayawan Sudjiwo Tewo mendapat giliran berbicara dan mengemukakan pendapatnya yang intinya bahwa dia tidak setuju dengan adanya remisi bagi koruptor dan teroris karena tindak pidana ini dinilai sangat merugikan rakyat sehingga tidak ada ampun bagi mereka. Sudjiwo Tewo juga mengkritik menkumham terkait pernyataan pak menteri tentang konsistensi aturan perundang-undangan. "Kalau memang demikian, kenapa masih banyak pengangguran? Bukankah dalam aturan undang-undang mengatakan setiap orang berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Tapi kenapa pengiriman TKI ke luar negeri semakin pesat? Di mana lapangan pekerjaan yang dimaksud?
Belum lagi aturan mengenai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh pemerintah untuk kesejahteraan rakyat. Buktinya mana? Coba lihat freeport di Papua sana, 90% dikuasai pihak asing. Di mana pemerintah?" tanya mbah tedjo.

Pro kontra mengenai layak atau tidak koruptor dan teroris mendapat remisi membuat saya menarik kesimpulan atas diskusi JLC bahwa menurut saya, pernyataan pak menteri tentang remisi bagi koruptor dan teroris sudah benar berdasarkan aturan perundang-undangan. Semua sudah sesuai dengan aturan tentang persamaan hak setiap orang di hadapan hukum. Karena jika remisi dihilangkan tanpa merubah peraturan perundang-undangan yang dimaksud tentu menimbulkan masalah baru, yakni terjadinya pelanggaran hak asasi manusia sesuai yang tertuang dalam UUD 1945 (Amandemen) dalam pasal 27 ayat 1 yang berbunyi, segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah wajib menjunjung hukum dengan tidak ada kecualinya. Kalimat terakhir "tidak ada kecualinya" memberi penjelasan bahwa siapapun dia berhak mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum. Jadi, sangat jelas sebenarnya maksud dari aturan tersebut. Persoalan terpidananya adalah koruptor atau bukan, selama dia berkelakuan baik dalam penjara maka berhak mendapatkan remisi. Begitu mulianya aturan tersebut yang menghargai perlakuan baik seseorang.
Apakah hanya karena satu peraturan saja yang tidak ingin diberlakukan bagi orang tertentu (remisi bagi koruptor) sehingga harus mengorbankan aturan lainnya tentang hak asasi manusia?

Sebenarnya, sikap pak menteri yang konsisten dalam menjalankan amanat undang-undang ini patut di apresiasi. Hanya yang disayangkan adalah persoalan momennya saja yang kurang tepat. Di mana pada saat bersamaan bangsa ini sedang dirundung segelumit permasalahan di bidang hukum terkait tindak pidana korupsi yang mana pernyataan Menkumham tersebut bermaksud menerapkan hukum dan keadilan dengan memberikan remisi bagi koruptor. Tentu hal ini menjadi kontroversial di tengah gencarnya pemberantasan korupsi oleh para penegak hukum.

Namun, di sisi lain saya sepaham dengan pendapat dari mbah Sudjiwo Tewo tentang komitmen pemerintah dalam hal penerapan/penegakan hukum yang konsisten. Jika memang ingin konsisten untuk tetap menerapkan aturan hukum dengan memberi remisi bagi koruptor dan teroris, pemerintah seharusnya konsisten juga dengan penerapan aturan hukum lainnya. Misalnya aturan yang termaktub dalam UUD 1945 bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Faktanya masih banyak anak-anak bangsa di luar sana yang hidupnya terkatung-katung. Selain itu masalah pendidikan, tidak sedikit juga anak-anak miskin di luar sana yang tidak mendapat kesempatan menikmati pendidikan hanya karena persoalan biaya. Padahal undang-undang telah menjamin bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Pertanyaannya, gimana mau wajib ikut pendidikan kalau aturan sekolah mengharuskan mereka (anak-anak miskin) untuk membayar biaya sekolah? Sementara dalam aturan pemerintah sendiri yang memiliki kewajiban untuk membiayainya adalah pemerintah. Di mana pemerintah?

Belum lagi persoalan pengangguran. Undang-undang mengatur bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Berhak sih berhak, tapi lapangan pekerjaannya mana? Apakah kewajiban untuk membuka lapangan pekerjaan dibebankan kepada negara tetangga? Lalu di mana peran pemerintah? Kenapa jumlah TKI yang ke luar negeri selalu meningkat? Seiring meningkatnya pula pengiriman TKI dari negara tetangga yang sudah teraniaya oleh majikannya. Apakah itu tergolong penghidupan yang layak?

Kesimpulannya, sesuai dengan aturan perundang-undangan tentang pemasyarakatan bahwa remisi (pemotongan masa tahanan) memang adalah hak dari setiap warga binaan di lembaga pemasyarakatan, siapapun dia. Kalau mau remisi dihilangkan, ubah UU-nya. Sebaliknya, jika ingin remisi tetap ada, terapkan juga aturan-aturan lainnya yang mendasar agar tercipta keadilan di tengah masyarakat. Dan yang lebih krusial dari itu adalah vonis hukuman di sidang pengadilan terhadap terpidana korupsi dan tindak pidana yangg tergolong extra ordinary crime, harus lebih berat dari tuntutan jaksa. Hanya saja pemerintah terkadang lalai dalam konsistensinya untuk menerapkan aturan tersebut secara menyeluruh. Pemerintah terkesan memberi "remisi" (pemotongan) lain terhadap penerapan aturan hukum lainnya. Jadi, jangan hanya fokus pada satu permasalahan saja lalu masalah lain yang mendasar dikesampingkan.

Selasa, 20 September 2011

berharap lebih baik

Untukku dan engkau yang menanti
perubahan yang melapangkan hati,

mari sama-sama kita bisikkan dengan mesra kepada Tuhan kita;

Tuhanku Yang Maha Sejahtera,

Aku mohon maaf karena telah
memelihara keraguan di hati ini,
yang kutahu hanya melemahkan upayaku.

Dampingilah upayaku
untuk membangun rasa pasti yang kuat
mengenai hakku untuk hidup damai dan sejahtera.

Bangunkanlah aku esok pagi
dengan hati yang berketetapan besar,
untuk menjadi pembaru nasibku sendiri.

Tuhan, jangan Kau lepas pegangan-Mu pada pundakku.

Aamiin.

cermin kebobrokan intelektual muda


Rabu, 14 September 2011 | 23:54:41 WITA | 181 HITS
Malu Melihat Tawuran di Unhas

YTH Pak Rektor Unhas, saya alumni Unhas merasa malu melihat tawuran kembali terjadi di kampus. Ambil tindakan tegas agar penyakit kampungan ini tidak terulang di masa akan datang, pecat mahasiswa yang menjadi provokatornya, terutama mahasiswa yang pertama memukul.  +628135591054

Begitulah kira-kira ucapan dari seorang alumni unhas yang dikirim via sms kepada harian fajar sebagai bentuk kekecewaan atas tingkah kampungan dari para kaum intelektual muda di kampus Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar. Sangat dimaklumi ucapan dari alumni Unhas tersebut yang menginginkan pemecatan terhadap mahasiswa yang menjadi dalang dari tawuran antar fakultas tersebut. Saya pribadi mendukung sepenuhnya jika seluruh lembaga pendidikan di Indonesia Timur dalam hal ini dunia kampus memberlakukan peraturan tegas seperti itu. Jika memang terbukti salah, jangan segan untuk menindak mereka (mahasiswa) yang melakukan aksi brutal bin anarkis.

Hal senada juga disampaikan oleh beberapa kalangan khususnya mereka (tak terkecuali saya) yang juga pernah berstatus sebagai mahasiswa namun tidak sebobrok itu tingkah lakunya. Mereka menyesalkan sikap dari beberapa teman-teman/adik-adik mahasiswa yang bermental kapas yang sangat mudah disulut api kemarahan. Di Makassar sendiri setidaknya ada beberapa kampus yang tergolong terkemuka dalam hal kualitas pendidikan baik itu negeri ataupun swasta yang dinilai dari alumninya yang berhasil dalam dunia kerja dengan membawa nama baik almamaternya. Sebut saja Univ. Hasanuddin (UNHAS), Univ. Muslim Indonesia (UMI), Universitas Negeri Makassar (UNM), Univ. Islam Negeri (UIN) dan masih banyak lagi. Hal yang berlawanan kiranya ketika sebuah kampus menjadi "terkemuka" bukan dari kualitas pendidikannya, tenaga pendidiknya, mahasiswa dan lulusannya (alumninya) melainkan "terkemuka" karena aksi demonstrasi mahasiswa yang kadang-kadang bahkan sering mengganggu ketertiban umum. Belum lagi kebrutalan dan anarkisme yang sering dipertontonkan oleh para intelektual kita tanpa menyadari kebobrokan merekalah yang jadi pertunjukan bagi masyarakat umum.

Saya sendiri yang juga  seorang alumni di salah satu Univ. Swasta di Makassar, sebut saja Universitas Muslim Indonesia (UMI) merasa resah dengan kejadian tersebut meski bukan dari almamater saya. UMI yang terkenal dengan visi-misinya yang intinya bertujuan menciptakan lulusan intelektual berakhlaqul qarimah yang berlandaskan pada pendekatan spiritual juga masih sering menjadi "terkemuka" dalam hal aksi-aksi yang merugikan banyak pihak termasuk mereka (mahasiswa) sendiri. Teringat dengan pengalaman sewaktu kuliah dulu, saya juga seringkali diajak ikut melakukan aksi demonstrasi oleh para senior saat status saya masih MABA (Mahasiswa Baru) hingga menjelang semester akhir. Namun saya berusaha menghindar setiap kali ada ajakan dari senior untuk melakukan aksi. Bersama seorang teman (Zulham Umar) waktu itu kami pernah di ajak senior (kakak letting di fakultas) untuk ikut dalam sebuah aksi turun ke jalan melakukan demonstrasi untuk menolak kebijakan pemerintah yang dirasa tidak pro rakyat. Tapi karena tidak sepaham, dan memang kami tidak suka melakukan aksi seperti itu, jadi kami putuskan membuat alasan untuk menghindar/tidak ikut. Jadi waktu itu alasannya kami meminta ijin kepada senior untuk kembali ke rumah sebentar mengambil jas almamater kami yang kelupaan. Namun setiba di rumah masing-masing kami memilih untuk istirahat (tidur). Alhasil kamipun berhasil melakukan "aksi" menghindar secara diam-diam. Hehee...

Kembali ke topik. Tindakan anarkis, brutal adalah tindakan yang tidak dibenarkan oleh aturan hukum di negara kita. Tak terkecuali bagi mereka, para intelektual muda yang seharusnya menjadi pilar dalam penegakan demokrasi di negeri ini. Sudah saatnya pihak birokrat kampus mengadakan evalusasi terhadap peraturan menyangkut pemberhentian/pemecatan  mahasiswa yang biasa dikenal dengan istilah Drop Out (DO). Kalau selama ini aturan tersebut hanya menitikberatkan pada pelanggaran yang dilakukan oleh mahasiswa dalam hal akademik, maka perlu diperhatikan untuk menambah aturan tentang pemecatan mahasiswa yang melakukan tindakan anarkis di lingkungan Universitas. Ini juga menyangkut nama baik sebuah kampus. Karena selama ini citra pendidikan tercoreng dengan aksi-aksi merugikan tersebut. Lembaga pendidikan yang seharusnya mencetak para intelektual muda yang siap bersaing di dunia kerja malah beralih fungsi menjadi lembaga pencetak "petinju" (yang sok jagoan tentunya). Bisa kebayang gak jika kita melamar kerja di suatu instansi, namun bukan sambutan berupa pujian yang dilayangkan para pegawai/karyawan instansi tersebut melainkan tentang keburukan kampus kita. Sebuah fakta yang memang pernah saya alami sendiri.
Ketika melamar kerja saya ditanya, 

Panitia : "alumni dari mana de?" tanya panitia. 
Saya : "Alumni dari UMI Makassar pak!" jawabku. 
Panitia : "Oo...UMI Makassar, yang mahasiswanya suka demo itu yaa? yang suka tawuran dan memacetkan lalu lintas ya??" tanya bapak itu yang kelihatannya kesal.
Saya : "Memang mahasiswa UMI seringkali melakukan aksi demikian pak, tapi tidak berarti semua mahasiswanya berwatak demikian. Saya salah satu dari sekian yang juga merasa terganggu dengan aksi-aksi tersebut." jawabku bermaksud meluruskan.
Panitia : "Ahh...kalian semua sama sajalah.
Saya : (terdiam sambil melayangkan senyum kepada bapak yang mungkin men-judge UMI dan lulusannya buruk)

Jadi, tindakan seperti ini sebenarnya yang perlu dihilangkan oleh teman-teman mahasiswa. Dampaknya sangat dirasakan mahasiswa lainnya. Yang saya alami mungkin satu contoh kecil tidak baiknya citra kita (alumni) di dunia kerja. Untungnya waktu itu berkas saya diterima, tapi kalau ditolak hanya karena alasan citra kampus yang buruk. Mau di bawa ke mana ijazah saudara -saudara mahasiswa kalau semua instansi/lembaga bersikap seperti itu??

Jangan hanya masalah sepele, bentrok lagi. Seringkali yang menjadi pemicu bentrok yakni karena adanya unsur SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan). Persoalan antar pribadi bisa meningkat menjadi persoalan SARA. Karena semua merasa dirinya benar tanpa ada yang mau mengambil sikap gentle untuk duduk bersama menyelesaikan permasalahan dengan kepala dingin dan hati yang tenang, maka terjadilah kebobrokan seperti di Unhas kemarin. Kapan selesainya suatu masalah jika semua masih menyisakan dendam yang harus terbalaskan?? Tradisi seperti ini sangat mirip dengan kebiasaan suku-suku primitif di hutan-hutan sana. Atau memang "mereka" (pelaku anarkisme) masih satu suku dengan mereka yang hidup di hutan sana??

Seandainya semua mahasiswa bisa menanamkan dalam hatinya sikap bermusyawarah, saya yakin tidak ada kejadian seperti di Unhas kemarin. Dan dengan begitu jiwa intelektual seorang mahasiswa nampak. Perlu diingat bahwa solusi datang dari hati yang tenang, bukan dari kepanikan atau emosi. Maka dari itu be patient brother. Kami semua mengharapkan seperti itu. Dan saya, serta seluruh masyarakat Indonesia kebanyakan juga pernah berstatus sebagai mahasiswa. Tapi mental kami tidak sampai begitu-begitu amat bobroknya. Intinya, menghindari hal seperti itu terulang kembali butuh pengendalian diri yang dilandaskan oleh kuatnya keimanan dan kesadaran hukum. Yakin pasti berhasil.